Dienstag, 9. März 2010

elegi

Membaca buku harian Gie membuat saya berpikir akan anak manusia yang haus akan kemanusiaan. Seorang anak yang mendamba hidup selayaknya manusia normal namun ia tak bisa. Kemelut hidup telat terbentang lebar di depan mukanya dan akan terus terbentang. Seperti katanya, "Perjuangan tak bertepi atau berbatas". Saya melihat ironi kehidupan dia sama dengan saya ataupun yang lainnya. Kami bersembunyi dalam senyum palsu menahan himpitan rasa kemanusiaan kami dan bergerak sejurus hidup. Gie adalah seorang idealis murni dan tetap begitu sampai maut menjemputnya di puncak Mahameru. Terperangkap gas beracun dan bertindak aneh. Saya jadi teringat sebuah film, berdasarkan kisah nyata pula, yang serupa. Judulnya Into The Wild. Alexander Supertramp, sang tokoh, mati keracunan tanaman yang ia makan saat mencoba bertahan hidup di padang Alaska. Gie dan dia punya persamaan. Mereka sama-sama berjuang melawan hipokrit, imperialisme, ketidakadilan, ketamakan, dan saya rasa mereka sama-sama membenci uang. Mereka sama-sama penyuka politik dan berjuang dalam tameng kejujuran. Dan mereka memilih menjadi intelektual yang mandiri dengan segala resikonya, sendirian dan menderita.
Apakah ternyata pejuang keadilan justru harus mati sebegitu cepat, sebegitu sendiri dan kesepian? Apakah mereka yang berusaha menenggakkan tombak keadilan justru diasingkan dan diadili semua orang? Bahkan Munir pun mati diracun saat perjalanannya ke Belanda. Diatas pesawat bahkan!
Saya tak ubahnya berpikir bahwa menjadi seorang yang berusaha berbeda dari yang lain penuh resiko berbahaya yang seringkali tak pelak dihindari. Jadi ibaratnya, mereka telah meramal jalur hidup mereka sendiri. Mengerikan bukan?
Kembali ke Gie, saya ingin sekali bertemu dengan dia, berbicara dengan seorang idealis murni yang rindu akan hidup kemanusiaannya. Dimana saat ia putus asa dengan kehidupan cintanya yang selalu berujung kandas. Dimana dia selalu menulis pada buku hariannya betapa semua orang, khususnya ayah dari pacarnya, memuji keberaniannya tapi melarang anaknya untuk terus dekat dengan Gie dengan alasan bahaya. Ya, dia adalah seorang yang amat berbahaya. Banyak orang takut akan pendirian dan prinsip yang dia pegang. Betapa hebatnya dia dalam menjalani hidup.
Entah banyak pilihan hidup menantang di depan saya, menjadi realis, oportunis, apatis, atau idealis. Menjadi oportunis sangat enak, hidup bisa menimang uang dan keamanan hidup. Menjadi idealis harus memikirkan resiko akan kelangsungan hidup. Menjadi realis tak berarti pasrah tak berarti radikal. Menjadi apatis tak ubahnya hidup dalam dunia sendiri. Entahlah, menjalani hidup sudah merupakan resiko, sekalian saja timpali dengan resiko yang lain.

Montag, 1. März 2010

Pangandaran

Akhirnya terjawab sudah rasa penasaran kami akan alam indah Pangandaran, khususnya Green Canyon atau biasa orang lokal menyebutnya Cukang Taneuh. Ya, cerita perjalanan kami berawal saat hari Jumat 26 Februari 2010. Teriknya langit Jakarta tak menyurutkan kami untuk memulai perjalanan agak panjang dan melelahkan yang dimulai dari AC. Sembari menunggu salah seorang teman datang, kami berbincang dan menghayalkan alam keindahan Green Canyon. Tepat pukul setengah dua siang kami berangkat menuju terminal bus Kp. Rambutan, setelah sebelumnya menyambangi rumah salah seorang teman kami untuk mengambil beberapa perbekalan untuk nanti disana. Perjalanan ke Kp. Rambutan tidak terlalu lama karena keadaan Jakarta tidak terlalu ramai, sampai disana sekitar pukul empat sore tepat. Kami sempatkan untuk berfoto sejenak di depan palang terminal, menandakan perjalanan dimulai dari sini dan akan berakhir disini tentunya.
***
Kami diharuskan menunggu bus
Perkasa Jaya jurusan Jakarta-Pangandaran yang baru akan tiba pukul setengah enam dan berangkat sekitar pukul enam. Benar! Bus ini tiba dan berangkat tepat waktu, jadi kami tak terlalu membuang waktu banyak menunggu.
Pukul enam sore waktu setempat kami meluncur menuju Pangandaran, oh iya kami berlima kebetulan mendapatkan tempat duduk paling belakang, ya setidaknya cukup membuat nyaman perjalanan yang kira-kira memakan waktu lebih kurang delapan jam dengan bus non-ac yang bertarif Rp 55.000,00, yang mana tidak terlalu mahal menurut kami.
Bus meluncur cepat melewati kemacetan Jakarta yang sudah mulai menuju arah tol Cipularang. Sementara ini perjalanan kami hanya akan diwarnai jalanan lurus tol. Cukup lelah sedari siang, beberapa dari kami memutuskan untuk tidur sejenak sambil mendengarkan lagu mengisi kebosanan selama perjalanan panjang ini. Untung keadaan tol saat itu terbilang lancar, mengingat bertepatan dengan kami berangkat adalah hari libur nasional, hari Maulid Nabi.
Perjalanan tidak begitu terasa sampi kira-kira pukul setengah sembilan malam kami tiba di pemberhentian di daerah
Nagreg. Kami memutuskan untuk mengisi perut di warung setempat yang harganya sangat terjangkau, untuk seporsi mie rebus Rp 3000,00 ditambah gorengan dan kopi susu penghangat badan. Untuk ini biaya yang kami habiskan tidak banyak. Menurut penjaga warung setempat, memang bus Perkasa Jaya jurusan Pangandaran biasa rehat di sini, baik saat berangkat dari Jakarta, maupun sepulangnya.
Tak lama bus istirahat, sekitar pukul sembilan malam perjalanan kembali dilanjutkan. Melewati daerah pemukiman pinggir kota yang jalannya berkelok-kelok dan agak gelap, bus tetap saja meluncur deras. Sampai tengah malam kami sudah melewati daerah Ciamis, Banjar dan Banjarsari. Tepat sesuai perkiraan, pukul dua malam kami sudah tiba di Pangandaran, tepatnya di terminal bus Pangandaran. Terminal bus ini dekat sekali dengan pintu masuk ke Wisata Pantai Pangandaran(West Beach), jadi ya meskipun kami ditawarkan untuk naik becak, kami memutuskan untuk jalan kaki saja sampai ke penginapan kami, yang terletak agak ke dalam dari pintu masuk. Setiap orang, khususnya pejalan kaki ditarik bayaran Rp 2.500,00/orang, dan untuk pemakai kendaraan tentunya ada tarif tersendiri yang lebih mahal.
Jalan masuk ke dalam, ke area pantai dan penginapan agak jauh dari pintu gerbang masuk, kiri kanan sawah dengan pemandangan khas daerah tropis pantai, pohon kelapa yang tinggi semampai. Sayang, penerangan sama sekali tidak aktif, meskipun jalanan dan trotoar yang ada sudah lumayan rapi dan memadai. Jadilah kami jalan dalam gelap sampai menuju penginapan yang sudah sebelumnya di-
booking, Hotel Mutiara Selatan. penginapan sederhana ini mematok harga Rp 100.000,00/malam untuk kamar standart dan Rp 300.000/malam untuk family room. Di sekitarnya pun banyak hotel serupa meskipun ada beberapa hotel kelas menengah ke atas yang kira-kira seharga Rp 250.000,00/malam untuk kamar standart. Kami menyesuaikan dengan kantong khas mahasiswa saja, jadi kami memilih opsi pertama. Pukul tiga pagi kurang seperempat kami tiba di penginapan, namun karena ada kesalahan booking, yang mana menurut kami adalah kesalahan penginapan, kami terpaksa menunggu sampai pukul tujuh pagi supaya tidak dihitung menginap dua malam. Sembari menunggu, kami memutuskan untuk ke pantai saja, menikmati udara sambil mencari pengisi perut sekalian duduk melepas lelah.
Pantai-nya hanya berjarak lima menit dari penginapan, dengan warung yang selalu buka 24 jam. Kami rehat di salah satu warung sambil memesan mie goreng plus nasi, yang mana sekali lagi terjangkau dengan kantong, dengan minuman air kelapa segar. Sebelum kami makan, kami sempatkan duduk-duduk sejenak di pinggir pantai. Udara angin laut segar dengan ombak keras khas Pangandaran membuat lelah kami tak terasa. Kami beristirahat di warung temaram sambil menyantap pesanan, mengobrol, dan menyetel lagu reggae, rasanya lelah tak lagi kami rasakan. Alam pantai terlalu indah.

On the beach in Hawaii

I wish you were here with me, walking on the beach in Hawaii
playing on the golden sand, looking at the ocean now I understand
love is like the open sea, and I wish you were here with me
on the beach in Hawaii
-Ziggy Marley-

Waktu terasa cepat berlalu. Matahari mulai menampakan sinarnya di ujung timur jauh. Sinar mulai menerangi pantai dan pesisirnya. Laut mulai tenang, dan lampu-lampu warung mulai dimatikan. Si pengambil kelapa mulai beraksi memanjat pohon mengambil buah kelapa segar langsung dari pohonnya. Orang-orang mulai bangun dan berjalan kaki menuju pantai, dan artinya hari telah pagi, menandakan kami harus kembali ke penginapan, menaruh barang bawaan sambil bersiap-siap melanjutkan perjalanan. Pukul tujuh tepat kami sampai di penginapan dan langsung mandi dan masing-masing menyiapkan perbekalan berupa baju ganti yang nantinya akan dibawa untuk ke Green Canyon. Tanpa buang waktu, kami sudah siap dan melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki menuju terminal untuk nyarter atau menyewa angkot menuju Green Canyon. Rupanya supir angkot setempat telah paham dan menawarkan harga yang sangat bersahabat, Rp 110.000,00/hari sampai Green Canyon, bisa ditambah jadi Rp 150.000,oo jika ingin sekalian ke Batu Karas dan Batu Hiu. Kami memutuskan hanya ke Green Canyon saja. Pukul sembilan pagi kami berangkat dan hanya memakan satu jam perjalanan saja untuk sampai ke sana.

Akhirnya sampai juga kami di Green Canyon. Ternyata lumayan ramai dengan wisatawan lokal juga, dan ada beberapa wisatawan asing. Kami diharuskan mengantri nomor perahu, karena bila ingin sampai ke Green Canyon harus naik perahu menyusuri sungai **** sekitar setengah jam. Per orang ditarik bayaran berupa tiket masuk Rp 15.000,00. Untuk ini saja, kami harus menunggu sampai sekitar dua jam karena antrian sangat panjang. Kami habiskan dengan berhenti di warung sekitar sedikit menyantap minuman, karena hari sangat panas sekali.
Akhirnya tibalah saatnya kami harus naik perahu dan menyusuri sungai. Untuk bisa sampai ke ujung dan mencoba berenang di sungai yang arusnya agak deras, kami harus kembali bernegoisasi dengan tukang perahu, ya dengan tarif Rp 150.000,00 kami bisa menikmati keindahan alam dibarengi dengan adrenalin menyusuri sungai berarus.
Petualangan di Green Canyon dimulai dengan menyusuri sungai berarus, bahkan di etape selanjutnya kami harus melawan arur sungai yang deras! Kami berpegangan pada batu-batu yang seolah menjadi dinding lembah. Seru sekali. Apalagi saat kami harus melompat dari Batu Payung, yaitu sebuah batu besar menyerupai payung yg tingginya kira-kira 2,5 m dari permukaan sungai. Rasanya mendebarkan. Perjalanan pulang dengan perahu, sama sepeerti saat berangkat, menjadi penutup petualangan kami di Green Canyon.
Waktu masih menunjukkan pukul dua siang, kami memutuskan untuk sejenak kembali ke penginapan. Setengah jam kemudian kami kembali ke pantai barat(West Beach) dan dilanjutkan dengan naik perahu, dengan biaya sekitar Rp 50.000,00/perahu untuk menyeberang ke Pasir Putih, tempat taman nasional. Oh iya, tukang perahu yang juga adalah guide setempat menawarkan jasa untuk mengitari pulau taman nasional tersebut dengan kembali ditarik bayaran Rp 30.000,00/orang, sayangnya kami ingin menghabiskam waktu santai di pinggir pantai saja, menikmati hari yang berangkat senja. Sampai di Pasir Putih, kami meneruskan kegiatan dengan snorkeling atau hanya sekedar tidur di bawah pohon di pinggir pantai dengan cahaya yang menusuk-nusuk dari celah pepohonan dan angin pantai yang semilir, rasanya kami bagai di surga dunia. Sambil sedikit bercengkerama dengan rusa-rusa dari taman nasional rasanya benar-benar indah.
Lelah bermain kami akhirnya kembali ke West Beach, lagipula perahu kami sudah menjemput. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah enam sore, waktunya kami menikmati sunset dari West Beach.
Sunset yang indah menjadi penutup perjalanan dan petualangan kami di Pangandaran dan Green Canyon. Langit yang kian berwarna jingga dipadukan dengan suasana gelap dan awan-awan disekitar kaki langit menghasilkan suasana sangat indah. Fotografer mulai berdatangan ingin mengangkap momen langka yang indahnya jarang kami temui di pantai manapun di Jawa. Turis asing tak kalah sigapnya. Angin kembali meniupkan panggilan alam untuk bersantai di pinggir pantai, kami yang lelah bermain dan bertualang, duduk sambil membakar rokok dipinggir pantai yang mulai sepi pengunjung. Cahaya temaram.
Malamnya, sekitar pukul tujuh, kami kembali ke penginapan untuk mandi dan membereskan barang, sekalian keluar mencari makan malam yang harganya bersahabat pula di sekitar pantai. Kira-kira pukul sepuluh kami kembali ke penginapan dan berisitirahat karena esok pagi, sekitar pukul lima kami harus kembali ke Jakarta mengejar bus Perkasa Jaya yang ada sejak pukul enam sampai delapan, tentunya dengan tarif seperti biasa atau bisa mengambil bus ac dengan tarif Rp 60.000,00.
Itulah akhir perjalanan kami di Pangandaran, sampai jumpa lain waktu Pangandaran. Adios.

Jakarta, 2 Maret 2010




Freitag, 1. Januar 2010

selamat ulang tahun, waktu

Hari pertama di tahun 2010.
Jakarta sepi tapi ramai juga, panas, angkutan umum sesak.
Monas mulai dipadati manusia, sedang yang lain memilih melanjutkan hari di rumah, bersantai.
Salam tahun baru bertebaran dimana-mana. Doa dan harapan disanjungkan. Berbagai resolusi diikrarkan.
Bagi sebagian orang, mereka menanti keajaiban di tahun baru.
Bumi menua, manusia pun semakin berkurang waktunya.
Tiada yang pasti, semua dinamis berjalan. Entah itu pertemanan, entah itu persahabatan, entah itu cinta yang berubah tangis, atau apapun.
Kebohongan dan kejujuran akan berhimpitan.
Dunia menua, waktu menua.
Sadarkan diri untuk menjadi yang terbaik.
Waktu untuk merantau, waktu untuk berpisah.

15 :00
1 Januari 2010
hari pertama di bulan pertama di tahun pertama saya akan studi ke luar negeri.

Sonntag, 13. Dezember 2009

hari-hari si skeptis

hidup saya bukan patung.
Statis, kaku, tak mampu menampilkan emosi bagi siapapun yang melintas di depan mata saya. Alangkah bahagianya saya jika ada sekumpulan orang berjalan penuh gairah di depan saya, melempar senyum, berjalan riang dan antusisas, bahkan menyentuh rai saya. Mungkin saya akan semakin bahagia jika mereka berfoto bersama saya. Ah, andaikan saya bukan patung, saya pasti akan merangkul mereka dengan pelukan hangat. Tersenyum bersama mereka. Tunggu dulu, apakah saya benar-benar adalah patung?
Bukan! Saya rasa, saya bukan patung. Tapi mengapa saya tidak bisa meneteskan air mata saat saya kesepian? Atau mengapa saya tidak juga enggan meronta saat saya disakiti?
Mereka bilang apa, saya dengar apa. Mereka saling mencibir, saya tahu arti cibiran itu. Mereka saling melempar pandang, saya tahu perasaan mereka. Tapi mengapa saya enggan berujar saat seekor burung kecil yang lucu, yang dulu pernah hinggap di pundak saya, kini terbang entah kemana? Ah cerita lama, cinta itu tidak logis, irreal, bengis, chaos, abstrak, egois, ironis, dan sarkastik.
Mata saya menerawang jauh ke depan. Ke arah danau, pantai, laut, dan horison. Menunggu diri saya diukir dengan martil kasar. Saat nanti, wajah saya, yang saya yakini tampan, akan dikerat dengan pisau dapur yang baru diasah. Toh, saya yakin juga, hati saya masih ada. Mata saya masih mampu menatap tajam. Kepalan saya masih kuat, sama seperti saat mereka bergantian memukulinya. Saya kuat! Toh, hujan deras seperti apapun tak akan melunturkan warna saya. Saya akan tegap berdiri seperti patung anak kecil dalam dongeng Lolerey yang sudah berdiri selama ratusan tahun. Nama saya akan diukir seperti M. Toer, ayahanda Pramoedya Ananta Toer, di gerbang depan sekolah IBO di Blora sana. Saya belum kalah berperang. Seperti kata pemeo lama teruntuk Belanda, " seperti Belanda minta tanah, dikasi sehasta minta sedepa", akan saya amini. Saya mau lebih dari apa yang diberikan pengalaman pada saya. Tunggu dulu, kalian tahu kan saya ini berayahkan beton dan beribukan batu kali? Jadi saya rasa, badai bukan tandingan saya. Saya berharap, akan ada gelombang tsunami kecil-kecilan yang menghantam saya dan saya ingin tersenyum puas saat melihat sekeliling saya runtuh, tapi saya tegap berdiri. Menantang maut. Menantang angin. Menantang apapun yang berusaha merubuhkan pondasi saya. Ya, saya arogan.
Ah saya ingin ditempa! Saya ingin pergi dari tempat saya dibangun, untuk sementara dipetikan, dikirim ke manapun untuk melihat. Tapi itu masih untuk beberapa jam, hari, bulan ke depan. Sekarang saya masih disini. Untuk sementara waktu meluruskan kaki mengencangkan otot. Saya masih harus tunduk pada langit ibukota.
Masih pula saya memandangi mereka yang lewat depan batang hidung saya. Masih tetap enggan berucap saat mereka memaki saya.
Saya masih penuh dengan impian khas patung, berharap disulap peri menjadi hidup, layaknya pinokio.
Sekali lagi, saya ingin dan rela ditempa.
Tapi toh itu kan nanti, sekarang saya masih mnegisi kepala saya dengan ideologi kaum Rastafari dan catatan kecil warisan Soe Hok Gie.
Toh itu nanti, saat burung besi itu membawa saya terbang jauh ke sana, ke utara negri Bavaria. Di sebuah kota kecil tepi pantai, Wismar.

Jakarta, 12 Des 2009 21 :54 : 47
dibawah langit mendung, entah itu Jakarta, entah itu hidup saya

Montag, 14. September 2009

doomsday

Eits ini bukan hari kiamat maksudnya. Oke emang secara harafiah iya sih. Cuma gw punya pandangan sendiri mengenai satu kata ini. Kalo ngomong pengetiannya, kiamat. Serem sih, gw juga ngerasa gitu. Cuma belakangan ini gw mikir, kalo misalnya kata kiamat ini gw liat dari sisi lain, ada juga kok makna simple yang bisa diambil. Kiamat berarti akhir dari segalanya. Kalo bahasa gampangnya, kemusnahan yang mengakibatkan menghilangnya seluruh aspek kehidupan. Kiamat bisa dimulai dengan genosida, abis itu mulai global war, atau malah bencana alam hebat yang diakhiri dengan chaos. Intinya hilangnya aspek kehidupan akibat kiamat, mungkin aja bikin sebuah aspek kehidupan baru. Bisa lebih canggih atau malah terbelakang. Intinya, menurut doomsday versi gw, kiamat adalah titik balik. Dan gw bakal ngejalanin sebuah titik balik kehidupan gw buat sampe ke hal yang dari dulu gw idamkan.
Disinilah cerita pelajar aneh yang pengen ke jerman dimulai. Mulai dari ujian z.D jumat ini, sampe nantinya, amin, gw sampe di sana. Nyiptain doomsday hari gw yg lama. Sampe ke titik balik hidup gw. Di ranah perantauan nanti, apapun yang terjadi, gw bakal ngelakuin sebisa gw. Sampe ada doomsday doomsday yang bisa ngedewasain gw. Amin!

Samstag, 5. September 2009

masa lalu dan masa depan

Anj*ng! Temen-temen gw udah pada bener-bener mulai kuliah! Gw masih kadang-kadang cengok sendirian di rumah pulang les ngga tau mau ngapain. Well, it's supposed to be fun, but i'm not enjoyed it. Seenggaknya, gw masih punya tujuan hidup, dan untungnya nyokap juga ngga protes sama keputusan frontal gw, haha. Sekolah bahasa, kerja, sambil kadang-kadang nulis trus dikirim, ngarep ditampilin. I'm doin' right things huh? Daripada bengong-bengong ngga karuan, mending gw punya kerjaan, sekalipun itu aneh dan lumayan ngga sibuk. But, it's okay. Gw jalanin hidup gw apa adanya dan sama sekali ngga maksa.
Selepas SMA, gw ngerasa inilah saatnya kita nentuin jalan hidup masing-masing. Bener ngga? Bukannya iri-irian ngeliat orang pake jaket almamater warna nyolok yang siap dipamerin kalo lagi jalan atau sekedar foto-foto doang. Menurut gw, apa yang udah jadi jalan hidup lo adalah lo sendiri yang megang. Mereka mulai kuliah duluan, lo belakangan. Gw yakin itu bukan keputusan buruk yang lo ambil sebagai tujuan hidup lo selanjutnya. Hidup bukan cuma sekedar jaket almamater kan? Bagi gw, banyak jalan buat sampe ke tujuan, dan kebetulan aja rute yang lo ambil adalah rute naik gunung, bukan jalan umum. Disaat lo mulai nanjak, temen-temen lo udah dengan enaknya jalan lurus ngebut. Disaat lo kecapekan, mereka masih bisa napas normal. Cuma siapa yang tau kan kalo jalanan lurus bisa kena longsor? Atau gunung yang lo daki bisa malahan meletus? Atau bikin lo cepet sampe tujuan dibanding mereka yang jalan di jalanan lurus? Haha, ngga bakalan ada yang tau kan? Jadi menurut gw, lakuin apa yang bisa sekarang dengan baik, dan jangan pernah berhenti sebelum lo sampe ke tujuan lo. Bener kan? Amin.

Freitag, 4. September 2009

rumus hidup

Gw punya sebuah teori. Lo ngga bakal bisa ngeraih apa yang lo mau kalo lo ngga pernah sekalipun bermimpi. Kadang, mimpi masa kecil yang berlebihan dan kayaknya ngga bakalan mungkin, justru itu yang akan jadi tujuan hidup lo selanjutnya. Mimpi yang kata orang ngga bakal mungkin kecapai itu justru akan kecapai dengan cara yang ngga bakalan lo sadarin. Mereka bekerja berlawanan dengan akal sehat kita dan percaya atau ngga, kadang-kadang kita sendiri menyangkal mimpi kita itu.
Sebenernya, apa yang lo yakinin sekarang belom tentu adalah yang terbaik buat lo. Pernah ngga sih lo berpikir gitu? Itulah yang gw yakin, situasi dimana gw, atau kita dengan sangat mungkin nyangkal mimpi dan harapan kita. Padahal, buat ngewujudin mimpi lo, cuma butuh satu rumus, nekat. Yap, kaya apa yang pernah gw baca, sebuah buku unik karangan Genia Sembada yang judulnya The Power of Nekat. Dalam buku kecil itu, dia(Genia Sembada) nerangin dan berhasil hipnotis gw buat ngelakuin apa yang menurut orang ngga mungkin. Singkat kata, dia ngerumusin kalo nekat itu adalah bertindak berani dengan kemauan kuat untuk mencapai tujuan yang jelas dan berharga(The Power of Nekat, hlm. 79). Dia juga ngerumusin bahwa hidup kita akan berhasil kalo kita udah punya tujuan, dan mati-matian memperjuangkan apa yang jadi tujuan kita itu. Fokus. Dan lo harus rela ngorbanin apapun demi tujuan hidup lo itu.
Okey, balik lagi ke awal. Gw adalah orang yang kebanyakan mimpi. Mimpi jadi inilah, jadi itulah. Tapi gw sadar, gw tanpa mimpi-mimpi itu bukan siapa-siapa. Tanpa mimpi-mimpi itu, ngga bakalan ada yang gw perjuangin dalam hidup gw. Ngga bakal ada semangat dalam hidup gw buat kerja keras pertaruhin hidup gw sekarang. Jadi, rumus hidup gw cuma ada dua, mimpi dan nekat. Dulu gw apatis banget sama mimpi gw. Gw anggep mimpi gw cuma khayalan belaka yang harus gw lupain sekarang kalo gw mau maju dan wujudin cita-cita gw. Tapi gw salah. Gw salah besar. Dalem hati gw, gw masih kebawa bayang-bayang mimpi gw. Gw rasa akan banyak orang yang kaya gw. Terpaksa terjun ke dalam suatu pilihan karena mimpi yang diyakinin rasanya terlalu jauh dikejar. Tapi emang sih balik lagi ke masing-masing.
Sekarang, apa yang dulu cuma jadi mimpi dan muter-muter di kepala gw doang, itulah yang harus gw kejar. Kalo dulu gw asal ngomong gw mau ini mau itu, sekarang ini itu adalah taruhan hidup gw. Gw ngerasa sekarang hampir ngga percaya kalo gw bakaln ngewujudin mimpi masa kecil gw dulu. Gw pengen keluar dari keterbatasan yang gw punya. Gw pengen aja ngebuktiin ama siapapun kalo siapapun yang berani bermimpi dan berjuang buat mimpinya dia itu, bakal sampe ke tahap dimana dia ngerasa sukses. Soal proses, lakuin aja sebaik-baiknya. Soal hasil? Tuhan tau kok kalo kita lagi perjuangin mimpi kita, jadi apapun hasilnya, mau jelek, mau bagus, tetaplah sebuah hasil dari perjuangan kita. Kalo kata salah satu lirik lagu Steven n Coconuttreez, Ipung, Guntur Red Locks, dkk "Terlanjur pasang langkah ke depan, pantang rasanya mundur ke belakang". Yap, pasang rumus hidup gw plus lirik lagu ini, itulah gambaran apa yang gw lakuin sekarang ini.